Pengantar
Pangsa pasar mete dunia, konon tercatat sebesar 88.000 ton per tahunnya. Namun peran Indonesia di percaturan pasar mete dunia, sangat kecil yaitu hanya sekitar 2,7% saja. Soalnya produksi mete kita, sebelum masuk ke pasaran dunia sudah terserap oleh konsumen di dalam negeri. Padahal kita memiliki lahan potensial, untuk pengembangan komoditas ini, sekitar 14,5 juta hektar. Untuk menelusuri liku-liku masalah komoditas jambu mete tsb, redaksi menurunkan Nadi Mulyadi dan Sugiyono (Yogyakarta) ke sentra mete di Jawa, yaitu di Kabupaten Gunung Kidul. Hasil laporannya, disunting oleh Oethomosoebarkah, dan dilengkapi oleh Managing Editor, Dedi Riskomar, hingga bisa disajikan kepada sidang pembaca. Semoga bermanfaat
Redaksi
HARGANYA yang mahal, membuat makanan camilan ini tergolong eksklusif. Terkadang, konsumen mesti berpikir ulang untuk menyantapnya. Tapi rasanya yang lezat, ditambah teksturnya yang empuk dan renyah, membuat produk nabati ini banyak diburu orang.
Tak salah jika berbagai daerah, kemudian berlomba membudidayakannya. Uniknya tanaman jambu mete, hanya bisa berbuah bagus justru di dataran tandus. Tapi rupanya, inilah hikmah tersembunyi di balik kegersangan beberapa daerah kering seperti NTB, Sulawesi Tengah dan Gunungkidul, Yogyakarta.
Dari daerah-daerah tersebut, tercatat pada 1997 Indonesia mampu menghasilkan 29.666 ton mete gelondongan senilai USD 19.151.503. Prestasi tersebut, sekaligus memposisikan negara kita menjadi pemasok mete terbesar ketiga dunia setelah India dan Brasil. Sementara negara tujuan ekspor antara lain Jepang, Taiwan, Filipina, Malaysia, Emirat Arab, Australia, Selandia Baru, Kanada, AS, Belanda, Inggris, Jerman, Italia, dsb.
Karena ekspor mete kita berupa bahan baku gelondongan, maka masih harus melewati proses produksi yang rumit sebelum akhirnya kacang mete (kernel) dilempar kembali ke pasar dalam bentuk makanan ringan. Sedangkan kulitnya, yang mengandung CMSL (Chashew Nut Shell Liquid) diolah menjadi berbagal macam minyak industri, seperti oli dsb.
Kelezatan kacang mete, memang lebih enak dari kacang tanah. Ditambah kemampuan produknya yang terbatas, membuat harga kacang ini begitu fantastis. Harganya saat ini berkisar sekitar Rp 45.000,00/kg, memang sangat menggiurkan.
Jambu mete (Anacardium Occidentale), yang juga di beberapa daerah dikenal dengan nama jambu monyet. Tanaman asal Amerika Latin ini, sekarang menjadi produk unggulan petani di Asia dan Afrika. Dan sejak tahun 70-an, telah dikembangkan secara terbatas di negara kita.
Pengembangannya agak tersendat, karena kebanyakan masyarakat belum begitu mengenal keunggulan komoditi ini. Menurut beberapa pakar, kurang intensifnya pemeliharaan membuat daya saing produksi mete kita lemah di pasar dunia.
“Mitra Bisnis”, yang menelusuri lika-liku mete di daerah perbukitan Gunungkidul, Yogyakarta, pekan lalu, menyaksikan betapa pohon jambu mete kini telah menjadi tanaman “wajib” rakyat setempat.
Di atas tanah pegunungan berkapur, yang menghampar di ujung Selatan Provinsi DIY tersebut, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan petani. Maklum, di daerah “pelanggan” kekeringan itu, konon hanya mete “yang bisa ditangisi” saat musim paceklik tiba.
Tidak Manja
Kepala Dinas Perkebunan DIY, Ir. Triyamto mengatakan, setidaknya ada 18.000 ha tanah “marginal” di Gunungkidul saat ini menjadi pusat pengembangan pohon mete. Atau 60 persen dari 30.000 ha, luas keseluruhan ladang jambu mete di DIY merupakan kawasan rindang dengan tanaman mete. Di Gunungkidul sendiri, pengembangan tanaman jambu mete mendapat tanggapan positif warga, terutama di beberapa kecamatan seperti Karangmajo, Semin, dan Dlingo.
Data dari Ditjendral Perkebunan mengungkapkan, bahwa total areal perkebunan mete di Indonesia saat ini mencapai 297.416 ha. Dan lebih dari separuhnya, merupakan tanaman yang belum menghasilkan. Namun dari seluruh areal yang ada, lebih dari 90% di antaranya merupakan areal perkebunan rakyat.
Berdasarkan penelitian dari departemen yang sama, konon di Indonesia ada 10 provinsi yang sangat layak untuk pengembangan komoditas ini, dengan luas lahan sekitar 14,5 juta hektar. Beberapa di antaranya ialah, Sulsel, NTB, NTT, Jateng, dan Jatim serta sebagian kecil di Jabar dan juga DIY.
Sampai sejauh ini, AS masih merupakan negara pengimpor terbesar di dunia, dengan menyerap sebesar 64% dari total impor dunia. Negara ini memperoleh mete dari India dan Brazil, termasuk Indonesia di antaranya. India meskipun negara penghasil mete terbesar di dunia, namun hingga kini masih mengimpor mete gelondongan dari negara lain.
Demikian tingginya angka penyerapan pasar mete di AS ini, terlihat dari tren volume impornya yang rata-rata setiap tahun mencapai angka 32%. Melihat angka ini, kejenuhan pasar mete masih sangat jauh.
Kendati pun harganya sempat bergejolak dan berfluktuasi beberapa tahun yl, hal ini bukan disebabkan oleh kejenuhan pasar melainkan karena permainan para eksportir belaka. Yang buntut-buntutnya, ingin memperoleh harga murah dengan cara menekan pada harga petani.-
NADI/”MB”
Teknik Budidaya Mete
TANAMAN mete mampu tumbuh di lahan kritis. Ia juga tidak manja, dan merupakan pertanaman yang sangat toleran dalam berbagai kondisi. Yang diperlukan petani, sebelum membudidayakan jambu mete, hanyalah lahan yang cukup.
Di tanah yang subur cukup bagus, di tanah kritis pun “monggo”. Yang penting, tanah itu jangan mengandung lapisan garam. Ia bisa tumbuh dengan baik, dan hasilnya tentunya sangat tergantung bagaimana petani merawatnya. Mete bisa tumbuh dari dataran rendah, hingga ketinggian 1.000 m dpl. Bahkan masih bisa tumbuh baik, di daerah yang hanya memiliki curah hujan 500 mm per tahun.
Untuk pertanaman, buatlah lubang tanam berjarak 1,5 meter antar barisan. Lubang tanam, sebaiknya berukuran 1 x 1 x 1 m. Beri pupuk kandang/hijau sebelum bibit ditanam, kurang lebih sebanyak 1 blek.
Pada hakikatnya, jambu mete hampir tak ada teknik pemeliharaan khusus. Kecuali yang harus diperhatikan ialah, terhadap ancaman hama ulat penggulung daun yang juga relatif gampang diatasi dengan semprotan pestisida. Pada usia 4-5 tahun, tanaman tersebut mulai dapat dipetik hasilnya.
Selanjutnya, petani tinggal melakukan penanganan pasca panen dengan baik agar produk metenya memenuhi standar mutu yang ditentukan. Tanaman mete mampu berproduksi hingga usia sekitar 25 tahun, dengan panen raya antara bulan Juli - Oktober. Pada musim baik (hujan tidak berkepanjangan) mampu berproduksi sekitar 1.000 - 1.500 kg/ha biji gelondongan. Jika dikelola dengan baik, bahkan bisa mencapai 3.0 ton/ha.
Peluang Pasar
Selezat rasa kernel-nya, komoditas ini pun ternyata juga “laris manis” di pasar dunia. Tercatat beberapa negara di Asia dan Eropa menjadi importir tetap produk mete Indonesia sebesar lebih kurang 30.000 ton/tahun.
Untuk negara Prancis saja, sekarang eksportir secara rutin mengirimkan 100 ton per 2 bulan (50 ton/bulan) mete gelondongan. Peluang ekspor tersebut, diindikasikan masih terbuka lebar mengingat produk mete kita saat ini baru memenuhi 6 persen kebutuhan mete dunia.
Dengan peluang pasar secerah itu, wajar bila seorang petani mete dari Gunungkidul, Pakimin (50) mengaku sangat tidak kesulitan menjual hasil panennya. Menurut pensiunan Kepsek SD Gedangrejo, Banjardowo, Karangmojo itu, tidak ada sejarahnya mete tak laku dijual.
“Terkadang belum kering dijemur pun, para tengkulak sudah datang membawa uang,” ujarnya. Masalah yang dihadapi saat ini, menurut Rakimin adalah tidak tersedianya lahan yang cukup untuk menaman. Namun begitu dari kebunnya yang tidak begitu luas, ia mengaku memiliki 100 pohon jambu mete yang setiap tahun menghasilkan sedikitnya 10 kuintal mete gelondongan. Dengan harga saat ini sekitar Rp 7.000,00/kg, berarti ia bisa mengantongi sekitar Rp 7 juta per musim panen.
Sementara itu data Dinas Perkebunan DIY menyebutkan, para petani mete Yogyakarta pada 1999 mampu melakukan lompatan berarti dengan hasil 337,2 ton mete gelondongan. Atau meningkat 144 persen dari hasil tahun 1998 yang hanya 135,2 ton. Harga pasaran internasional mete gelondongan saat ini sekitar USD 1,0/kg. Jika 1 dolar senilal Rp 7.000,00, maka jambu mete mampu menghasilkan antara Rp 7 - 10,5 juta/ha per tahun. Penghasilan cukup tinggi bagi daerah kering yang sulit mengembangkan tanaman hortikultura lainnya.
Penghasilan tersebut, menurut Triyatmo masih dapat ditingkatkan jika penanganan pasca panen optimal. Sebab, hampir seluruh bagian jambu mete sebenarnya mempunyai nilai ekonomi tinggi. “Tapi, untuk sementara yang dimanfaatkan baru biji metenya. Sedangkan kulit biji dan buahnya masih menjadi limbah yang terbuang,” ujarnya.-
No comments:
Post a Comment